Wajib bagi orang tua untuk mengetahui anaknya apakah kecanduan game dan butuh pendamping orang tua
Desakan agar game online seperti PlayerUnknown's Battle Ground atau PUBG, Mobile Legends (ML), serta Free Fire (FF) dihapus belakangan begitu menguat di media sosial. Suara-suara desakan itu muncul terutama dari kalangan orang tua. Tak lama kemudian, giliran dari kalangan pejabat seperti Bupati Mukomuko meminta Menteri Komunikasi dan Informatika untuk memblokir website dan aplikasi game online. Permintaan tersebut disampaikan lantaran banyaknya keluhan dari warga mengenai banyaknya remaja dan anak yang kecanduan game online.
Aduan dan keluhan terkait banyaknya anak dan remaja yang bermain game memang bukan tanpa dasar karena pengguna game online di Indonesia sendiri sedang mengalami perkembangan yang begitu pesat, terlebih di masa pandemi Covid-19 dimana banyak orang memilih bermain game untuk mengisi waktu luangnya selama di rumah. Hal itu kemudian dapat dilihat dari hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2020 yang mencatat salah satu bentuk hiburan yang banyak dipilih di masa pandemi Covid- 19 adalah bermain game online dengan persentase 16,5 persen. Sementara data dari GGWP.id menyebutkan saat ini Indonesia memiliki 44,2 juta pemain game online dengan rata-rata usia pemain kebanyakan 11-28 tahun. Jumlah ini diyakini akan mengalami pertumbuhan mencapai 37 persen dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Baca juga: 25 kata-kata motivasi bangkitkan semangat dan rasa positif di saat lagi menyerah
- Dampak bermain game selalu
Kegelisahan orangtua atas game online ini memang bukan hanya sebatas angka pengguna yang kian meningkat, melainkan dampak yang ditimbulkan. Saat penulis menjadi guru dan pernah juga wali kelas, cukup sering mendapatkan aduan dari orang tua/wali tentang anaknya yang banyak menghabiskan waktu untuk bermain game (pecandu). Sang anak kemudian dikabarkan malas belajar, enggan membantu orangtua dirumah, banyak menggunakan kata kasar, hingga ada yang rela mencuri uang orangtua untuk keperluan top up game. Artinya, dampak game ini sampai merambat ke mental anak dan rasanya cenderung merusak.
Penulis mencoba tidak sekedar berasumsi berdasar aduan orangtua saat menjadi guru dulu, namun banyak studi uji klinis yang penulis baca memperli- hatkan bahwa kecanduan bermain game sama dengan mereka yang terobsesi ter- hadap penyalahgunaan narkoba. Efek dari kecanduan ini kemudian terlihat melalui kurangnya fokus pecandu game pada kegiatan sehari-hari seperti; kurangnya perhatian di kelas, berperilaku impulsive, pemikiran yang konstan tentang permainan. Celakanya, kecanduan game juga turut serta membuat emosi menjadi tidak stabil terutama karena anak bermain game yang mempunyai unsur kekerasan (peperangan/perkelahian dan sejenisnya).
Selain itu, karena terlalu asyik dengan dunia game membuat sang anak mempunyai permasalahan komunikasi dan cenderung antisosial. Bahkan, Organiasi Kesehatan Dunia seperti WHO telah menetapkan kecanduan game online sebagai salah satu jenis penyakit gangguan mental dan dapat merusak kesehatan. Di luar itu, kecanduan game juga berdampak pada kesehatan fisik. Hal ini juga menjadi keluhan dari orangtua karena biasanya anak mereka di usia SD saja sudah mesti menggunakan kacamata lan- taran sering bermain dengan smartphone. Hal lainnya, kecanduan game juga me- nyebabkan resiko obesitas akibat jarang bergerak dan otot kaku serta nyeri sendi yang diakibatkan posisi seperti duduk membungkuk saat bermain smartphone, Perlunya Pendampingan
Baca juga : Inilah 10 komik korea (manhwa) terpopuler yang saya rekomendasikan
Apabila usulan menghapus beberapa game online seperti PUBG, ML, dan FF dikabulkan oleh pemerintah pusat dengan pertimbangan dampak yang ditimbulkan terhadap anak, maka menurut hemat penulis itu tidak akan sepenuhnya menye- lesaikan persoalan. Karena perkem- bangan dan modifikasi game adalahkeniscayaan, sehingga ke depan akan ada game-game baru yang siap menarik minat anak dan remaja. Bahkan, tanpa tiga game tersebut dihapus, bisa saja dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh penggunanya yang kemudian beralih game baru yang lebih menarik. Fenomena perkembangan game tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak lama, sehingga bisa dikatakan tidak mungkin 'dicegah karena merupakan bagian dari resiko perkembangan teknologi.
Maka kuncinya di sini adalah pendampingan dari orangtua. Rasanya menjadi anomali jika orangtua menuntut game online dihapus tetapi kurang dalam memberikan perhatian terhadap anak. Tanpa sadar, biasanya orangtua juga larut dalam dunianya sendiri, seperti menghabiskan waktu setelah bekerja dengan berselancar di media sosial melalui smartphonenya. Hal yang harus disadari adalah saat orangtua sibuk dengan ponsel pintarnya, itu juga bisa berdampak terhadap perkembangan psikis anak. Menurut ahli teknologi Linda Stone seperti penulis kutip di Hai Bunda, saat orang tua sibuk bermain smartphone, perhatian yang diberi anak hanya sebagian. Kondisi ini jika terus dibiarkan maka dapat mengREDAKSI ganggu sistem isyarat emosional kuno yang ciri khasnya adalah komunikasi responsif, dasar dari sebagian besar pembelajaran manusia.
Tidak hanya bermain smartphone, orangtua juga terkadang lebih asyik menonton sinetron di televisi, dan melakukan hal lain ketimbang berdinamika bersama anaknya. Bahkan, karena kesibukan, kemudian ada yang memberikan smartphone kepada anak tanpa pengawasan. Pola-pola seperti itu tentu saja dapat berakibat pada relasi anak dan orangtua terjalin dengan tidak erat. Akhirnya, hubungan menjadi tidak harmo'nis, baik anak dan orangtua menjadi sibuk dengan dunianya sendiri. Orangtua kemudian malah menjadi kesulitan mengontrol anak karena sebelumnya tidak terjadi interaksi dua arah yang intens.
Padahal, penting bagi anak mendapatkan kesempatan pendampingan dari orangtua secara langsung. Kurang tepat jika orangtua berpikir bahwa segala bentuk perhatian dan pembelajaran sudah berlangsung di sekolah sehingga jika terjadi sesuatu terhadap anak seperti kecanduan game lantas langsung menyalahkan guru tidak memberi edukasi. Orangtua sendiri mesti menyediakan waktu bersama anak di rumah untuk mengedukasi penggunaan smartphone yang bijak. Perbanyak kesempatan untuk berdialog bersama anak dan memberi dorongan-dorongan positif sehingga anak merasa semangat dalam menjalankan kesehariannya. Perhatian-perhatian seperti itu merupakan energi bagi anak itu sendiri, bukan hanya sekedar melarang. Karena beberapa siswa pecandu game yang pernah penulis hadapi, semuanya mengaku kurang mendapat perhatian, ada yang sudah memegang smart- phone tanpa pengawasan sejak kelas 5 SD, dan bahkan ada orang tua yang lebih memilih memberi uang jajan dalam jumlah banyak sebagai pengganti bentuk "perhatian".
Interaksi yang menjadi salah satu bagian penting dari perhatian perlu untuk dirajut sebaik mungkin sehingga anak tidak sibuk dengan dunianya sendiri, terlebih larut dalam dunia game yang menjadi kekhawatiran orangtua.. Sudah saatnya persoalan perkembangan anak harus disadari sebagai tanggung jawab bersama, yakni guru di sekolah memberikan wawasan dan pendidikan berbasis nilai-nilai karakter, serta kemudian orangtua di rumah selalu berusaha untuk menyediakan "quality time" bersama anak. Sehingga, melalui sinergisitas yang kuat tersebut, diharapkan mata rantai kecanduan terhadap game dapat terus. ditekan.
Baca juga: Game Online Terbaik Di dunia Nomor 1 di Tahun 2021